by Rahmintama
Anak dengan kasus pelanggaran hukum tetap berhak mendapat perlindungan hukum.
Kasus pelanggaran hukum dengan pelaku anak-anak menjadi fenomena tersendiri diberbagai Negara. Penanganan yang tepatpun masih dicari dan diteliti oleh para akademisi serta ahli kriminologi. Seperti pada pertemuan para ahli kriminologi dan mereka yang bergerak pada isu anak saat itu, berbicara tentang mekanisme non legal diluar sistem hukum resmi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Menurut Peneliti Departemen Kriminologi FISIP-UI, Ni Made Martini, para akademisi melihat tingginya angka penahanan terhadap anak. “Penelitian kami bekerjasama dengan UNICEF dari Departemen Kriminologi FISIP-UI tahun 2000-2006 kira-kira empat ribu sampai lima ribu anak per tahun masuk dalam sistem peradilan baik ditangani oleh polisi, ditingkat kepolisian, jaksa, hakim, ditempatkan di rutan ataupun di lapas," ungkapnya.
Study wilayah tentang penempatan anak dalam lembaga hukum seperti Lembaga Permasyarakatan memiliki potensi bahwa anak akan mengulangi pelanggaran hukum. Menurutnya, secara teoritik para akademisi bicara bahwa penempatan anak dalam sistem peradilan memiliki dampak negative dari yang ringan sampai yang berat. Seperti dalam datanya pada sejumlah penelitian di beberapa negara.
“Misalnya di Inggris, lima puluh sampai tujuh puluh persen pelaku pelanggar hukum dewasa adalah pelaku pelanggar hukum ketika anak-anak," ujar wanita yang kerap disapa Tinduk ini. Dalam hal tersebut berarti menurutnya ada satu mekanisme yang tidak bekerja didalam sistem peradilan, jika tadinya diharapkan bisa merubah prilaku orang dari melanggar hukum menjadi taat hukum ternyata tidak bekerja,
Ketika seorang anak masuk dalam sistem peradilan, maka akan ada kerugian yang dideritanya. Seperti penjelasan Tini bahwa dampak negative atas keterlibatan anak dalam system peradilan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan dasar berupa makanan, tempat tidur yang layak, atau jaminan kesehatan, serta pendidikan.
Wanita yang kini menjabat sebagai Manajer Program PUSKA ANAK menjelaskan bahwa anak akan mengalami kekerasan. Ia menyampaikan tragisnya, dalam study di negara-negara lain melihat ada keinginan anak untuk bunuh diri.
“Kami kemudian diperguruan tinggi mencoba melihat kalau didalam konvensi hak anak, dinyatakan behwa anak-anak yang melanggar hukum berhak mendapat perlindungan khusus”, katanya.
Tinduk menjelaskan bahwa anak harus mendapat proses peradilan yang cepat dan kalaupun ditempatkan di Lembaga Permasyarakatan maka harus dalam masa paling singkat dan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak. Namun menurutnya hal tersebut merupakan upaya-upaya paling akhir, setelah menempuh sejumlah mekanisme sehingga anak dijauhkan dari system peradilan formal.
Penelitiannya menunjukkan bahwa anak-anak yang berada di lapas berasal dari keluarga yang tidak mampu. Menurutnya, anak-anak dengan mudah masuk dalam system peradilan, ditempatkan di lapas, di fonis dengan pelanggaran hukum ringan sekalipun. Tapi sulit bagi mereka keluar dari system hukum tersebut karena keterbatasan informasi dan advokasi.
“Dari lima ribu anak-anak tadi, kurang dari satu persen didampingi oleh pengacara karena tidak punya informasi, tidak punya jaringan, dan karena mereka miskin," ungkapnya.
Tini juga mengungkap bahwa negara hanya menyediakan pengacara cuma-cuma jika ancaman hukuman diatas lima tahun. sedangkan menurutnya anak-anak jarang melakukan pelanggaran hukum dengan ancaman hukum selama lima tahun.
”Rata-rata mereka hukumannya kurang dari satu tahun atau satu tahun lebih sedikit, atau bahkan tiga bulan, jadi mau yang kurang dari tiga bulan, atau satu tahun semua anak-anak ini berujung di dalam penjara," jelasnya.
Tini mengatakan dalam penelitian jika sistem peradilan tidak bekerja dengan baik untuk anak maka, harus ada system yang mengalihkan bahwa anak tidak diproses melalui sistem formal. Aspek yang bisa dilakukan iyalah menggunakan cara non legal yang notabene berada dalam mekanisme adat.
”Kami melihat mekanisme adat bisa memfasilitasi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hukum yang harusnya dibawa ke sistem peradilan untuk anak, kemudian lewat mekanisme adat," jelasnya.
Tinduk menyampaikan bahwa mekanisme adat juga harus dilihat secara kritis. Mekanisme yang tidak tertulis ini hanya dipahami secara turun temurun sehingga terdapat multi intepretasi.
Terkait persoalan anak yang paling mendasar adalah pendefinisian tentang anak secara hukum adat adalah mereka yang belum akil baliq. Namun secara biologis terdapat ukuran tersendiri seperti menstruasi pada anak perempuan. Sulitnya, konvensi hak anak bicara batas usia delapan belas tahun.
“Kalau mekanisme adat kita pakai, maka anak akan dirugikan. Misalnya kalau melanggar hukum lalu sudah menstruasi diumur sepuluh tahun kalau pakai hukum rasional masih bisa diperlakukan sebagai anak diumur dua belas tahun. Tapi kalau dimekanisme adat justru saya diperlakukan secara dewasa," ujarnya.
Hal itu berarti terdapat ancaman hukum yang lebih berat yang harus dikritisi tentang batas usia dan bagaimana adat memandang anak.
Tinduk mengungkapkan selama ini adat tidak melihat anak sebagai subjek dan tidak memiliki hak untuk didengar karena masih berada dibawah pengawasan orang tuanya. Temuan-temuan kemudian juga bicara bahwa dalam mekanisme adat, keputusan secara adat biasanya hanya mendengarkan orang dewasa laki-laki.
Ia berbicara bagaimana menggunakan mekanisme penanganan anak secara non legal dengan upaya diluar sistem hukum, maka kemudian harus ada komunitas yang tahu persis tentang konsep tentang perlindungan anak dan penempatan anak sebagai subjek.
“Karena kalau tidak kita hanya menjauhkan anak dari system hukum tetapi mekanisme lain justru ternyata memberikan penghukuman yang mungkin bisa lebih berat ketimbang system hukum nasional," katanya.
Ia bersama timnya mengkritisi mekanisme adat bisa digunakan hanya untuk memanfaatkan proses mediasi. Tinduk memberikan pencangkokan nilai-nilai tentang apa itu hak anak, siapakah anak, apakah haknya, dan bagaimana mereka harus dilindungi, sehingga keputusan menggunakan forum adat mampu mencerminkan kepentingan yang terbaik bagi anak.
Tinduk mencoba mengajak masyarakat berpartisipasi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak tanpa membawa mereka dalam mekanisme formal. Ia menyampaikan bahwa UNICEF telah memiliki beberapa pilot project tersebut dibeberapa kota seperti Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah dan Aceh. Penelitian tersebut dilaksanakan di Departemen Kriminologi yang bekerjasama dengan UNICEF.
“Sekarang ini dept kriminologi akan membuat semacam modul atau pelatihan bagi para pemuka adat tentang apa itu konvensi hak anak dan bagaimana anak harus dilindungi," katanya.
Secara akademik Tinduk mengkritisi sebaik apapun lapas merupakan tempat penghilang kebebasan. Lapas dengan fisik yang bagus bukan berarti tidak ada persoalan didalamnya. Anak dengan kasus narkoba dan pencuri mendapat binaan juga cara penyampaian informasi yang sama. Petugas tidak diberi keterampilan bahwa dalam lapas anak harus ada pendekatan yang berbeda.
Dalam konteks kriminologi, anak yang menjadi pelanggar hukum merupakan korban dari situasi sosial, struktural, dan ekonomi yang tidak mementingkan hak-hak anak. “Kalau struktur sosial kita tidak pernah diperbaiki, jangan berharap anak-anak itu menjadi warga negara yang patuh hukum," tegasnya.
Tinduk menghimbau bahwa anak-anak berhak mendapat perlindungan. Ia melihat pendekatan dalam pembinaan saat ini jauh lebih baik dan mereka tahu penggunaan kekerasan harus dibatasi. Tetapi menurutnya saat berbicara system maka siapapun yang menjadi petugas akan menciptakan keamanan yang berakibat sekecil apapun penggunaan kekerasan akan tetap ada. Dalam kondisi serba terbatas, orang cenderung mencari kenyamanan maka siapa yang kuat dialah yang berkuasa.
“Kalau kami di Criminologi Culture, penjara itu ada sebagai lembaga penahanan oleh karena itu pada anak-anak hindari hal ini karena ini tidak dapat dikontrol dalam sumber daya terbatas, akses kecil, maka orang akan saling memangsa untuk mendapat keuntungan sendiri," jelasnya.
Tinduk mengungkapkan hal tersebut bisa diminimalisir namun tidak pada titik nol, dengan memisahkan antar jenis pelanggaran, memberi fasilitas yang relatif sama, dan akses ketersediaan fasilitas yang mencukupi.
“Katakanlah selimut satu tapi dipakai beberapa tahun. Tapi ada juga mereka diberi baju dlm jumlah sama, tapi anak-anak harus dipahami masih dalam proses belajar, malas nyuci mengambil baju temannya, sehingga akan tetap ada kekerasan," ungkapnya.[\]
Foto ilutrasi:
Ketrampilan Anak Lapas Pontianak, Kalbar
Anak dengan kasus pelanggaran hukum tetap berhak mendapat perlindungan hukum.
Kasus pelanggaran hukum dengan pelaku anak-anak menjadi fenomena tersendiri diberbagai Negara. Penanganan yang tepatpun masih dicari dan diteliti oleh para akademisi serta ahli kriminologi. Seperti pada pertemuan para ahli kriminologi dan mereka yang bergerak pada isu anak saat itu, berbicara tentang mekanisme non legal diluar sistem hukum resmi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Menurut Peneliti Departemen Kriminologi FISIP-UI, Ni Made Martini, para akademisi melihat tingginya angka penahanan terhadap anak. “Penelitian kami bekerjasama dengan UNICEF dari Departemen Kriminologi FISIP-UI tahun 2000-2006 kira-kira empat ribu sampai lima ribu anak per tahun masuk dalam sistem peradilan baik ditangani oleh polisi, ditingkat kepolisian, jaksa, hakim, ditempatkan di rutan ataupun di lapas," ungkapnya.
Study wilayah tentang penempatan anak dalam lembaga hukum seperti Lembaga Permasyarakatan memiliki potensi bahwa anak akan mengulangi pelanggaran hukum. Menurutnya, secara teoritik para akademisi bicara bahwa penempatan anak dalam sistem peradilan memiliki dampak negative dari yang ringan sampai yang berat. Seperti dalam datanya pada sejumlah penelitian di beberapa negara.
“Misalnya di Inggris, lima puluh sampai tujuh puluh persen pelaku pelanggar hukum dewasa adalah pelaku pelanggar hukum ketika anak-anak," ujar wanita yang kerap disapa Tinduk ini. Dalam hal tersebut berarti menurutnya ada satu mekanisme yang tidak bekerja didalam sistem peradilan, jika tadinya diharapkan bisa merubah prilaku orang dari melanggar hukum menjadi taat hukum ternyata tidak bekerja,
Ketika seorang anak masuk dalam sistem peradilan, maka akan ada kerugian yang dideritanya. Seperti penjelasan Tini bahwa dampak negative atas keterlibatan anak dalam system peradilan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan dasar berupa makanan, tempat tidur yang layak, atau jaminan kesehatan, serta pendidikan.
Wanita yang kini menjabat sebagai Manajer Program PUSKA ANAK menjelaskan bahwa anak akan mengalami kekerasan. Ia menyampaikan tragisnya, dalam study di negara-negara lain melihat ada keinginan anak untuk bunuh diri.
“Kami kemudian diperguruan tinggi mencoba melihat kalau didalam konvensi hak anak, dinyatakan behwa anak-anak yang melanggar hukum berhak mendapat perlindungan khusus”, katanya.
Tinduk menjelaskan bahwa anak harus mendapat proses peradilan yang cepat dan kalaupun ditempatkan di Lembaga Permasyarakatan maka harus dalam masa paling singkat dan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak. Namun menurutnya hal tersebut merupakan upaya-upaya paling akhir, setelah menempuh sejumlah mekanisme sehingga anak dijauhkan dari system peradilan formal.
Penelitiannya menunjukkan bahwa anak-anak yang berada di lapas berasal dari keluarga yang tidak mampu. Menurutnya, anak-anak dengan mudah masuk dalam system peradilan, ditempatkan di lapas, di fonis dengan pelanggaran hukum ringan sekalipun. Tapi sulit bagi mereka keluar dari system hukum tersebut karena keterbatasan informasi dan advokasi.
“Dari lima ribu anak-anak tadi, kurang dari satu persen didampingi oleh pengacara karena tidak punya informasi, tidak punya jaringan, dan karena mereka miskin," ungkapnya.
Tini juga mengungkap bahwa negara hanya menyediakan pengacara cuma-cuma jika ancaman hukuman diatas lima tahun. sedangkan menurutnya anak-anak jarang melakukan pelanggaran hukum dengan ancaman hukum selama lima tahun.
”Rata-rata mereka hukumannya kurang dari satu tahun atau satu tahun lebih sedikit, atau bahkan tiga bulan, jadi mau yang kurang dari tiga bulan, atau satu tahun semua anak-anak ini berujung di dalam penjara," jelasnya.
Tini mengatakan dalam penelitian jika sistem peradilan tidak bekerja dengan baik untuk anak maka, harus ada system yang mengalihkan bahwa anak tidak diproses melalui sistem formal. Aspek yang bisa dilakukan iyalah menggunakan cara non legal yang notabene berada dalam mekanisme adat.
”Kami melihat mekanisme adat bisa memfasilitasi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hukum yang harusnya dibawa ke sistem peradilan untuk anak, kemudian lewat mekanisme adat," jelasnya.
Tinduk menyampaikan bahwa mekanisme adat juga harus dilihat secara kritis. Mekanisme yang tidak tertulis ini hanya dipahami secara turun temurun sehingga terdapat multi intepretasi.
Terkait persoalan anak yang paling mendasar adalah pendefinisian tentang anak secara hukum adat adalah mereka yang belum akil baliq. Namun secara biologis terdapat ukuran tersendiri seperti menstruasi pada anak perempuan. Sulitnya, konvensi hak anak bicara batas usia delapan belas tahun.
“Kalau mekanisme adat kita pakai, maka anak akan dirugikan. Misalnya kalau melanggar hukum lalu sudah menstruasi diumur sepuluh tahun kalau pakai hukum rasional masih bisa diperlakukan sebagai anak diumur dua belas tahun. Tapi kalau dimekanisme adat justru saya diperlakukan secara dewasa," ujarnya.
Hal itu berarti terdapat ancaman hukum yang lebih berat yang harus dikritisi tentang batas usia dan bagaimana adat memandang anak.
Tinduk mengungkapkan selama ini adat tidak melihat anak sebagai subjek dan tidak memiliki hak untuk didengar karena masih berada dibawah pengawasan orang tuanya. Temuan-temuan kemudian juga bicara bahwa dalam mekanisme adat, keputusan secara adat biasanya hanya mendengarkan orang dewasa laki-laki.
Ia berbicara bagaimana menggunakan mekanisme penanganan anak secara non legal dengan upaya diluar sistem hukum, maka kemudian harus ada komunitas yang tahu persis tentang konsep tentang perlindungan anak dan penempatan anak sebagai subjek.
“Karena kalau tidak kita hanya menjauhkan anak dari system hukum tetapi mekanisme lain justru ternyata memberikan penghukuman yang mungkin bisa lebih berat ketimbang system hukum nasional," katanya.
Ia bersama timnya mengkritisi mekanisme adat bisa digunakan hanya untuk memanfaatkan proses mediasi. Tinduk memberikan pencangkokan nilai-nilai tentang apa itu hak anak, siapakah anak, apakah haknya, dan bagaimana mereka harus dilindungi, sehingga keputusan menggunakan forum adat mampu mencerminkan kepentingan yang terbaik bagi anak.
Tinduk mencoba mengajak masyarakat berpartisipasi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak tanpa membawa mereka dalam mekanisme formal. Ia menyampaikan bahwa UNICEF telah memiliki beberapa pilot project tersebut dibeberapa kota seperti Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah dan Aceh. Penelitian tersebut dilaksanakan di Departemen Kriminologi yang bekerjasama dengan UNICEF.
“Sekarang ini dept kriminologi akan membuat semacam modul atau pelatihan bagi para pemuka adat tentang apa itu konvensi hak anak dan bagaimana anak harus dilindungi," katanya.
Secara akademik Tinduk mengkritisi sebaik apapun lapas merupakan tempat penghilang kebebasan. Lapas dengan fisik yang bagus bukan berarti tidak ada persoalan didalamnya. Anak dengan kasus narkoba dan pencuri mendapat binaan juga cara penyampaian informasi yang sama. Petugas tidak diberi keterampilan bahwa dalam lapas anak harus ada pendekatan yang berbeda.
Dalam konteks kriminologi, anak yang menjadi pelanggar hukum merupakan korban dari situasi sosial, struktural, dan ekonomi yang tidak mementingkan hak-hak anak. “Kalau struktur sosial kita tidak pernah diperbaiki, jangan berharap anak-anak itu menjadi warga negara yang patuh hukum," tegasnya.
Tinduk menghimbau bahwa anak-anak berhak mendapat perlindungan. Ia melihat pendekatan dalam pembinaan saat ini jauh lebih baik dan mereka tahu penggunaan kekerasan harus dibatasi. Tetapi menurutnya saat berbicara system maka siapapun yang menjadi petugas akan menciptakan keamanan yang berakibat sekecil apapun penggunaan kekerasan akan tetap ada. Dalam kondisi serba terbatas, orang cenderung mencari kenyamanan maka siapa yang kuat dialah yang berkuasa.
“Kalau kami di Criminologi Culture, penjara itu ada sebagai lembaga penahanan oleh karena itu pada anak-anak hindari hal ini karena ini tidak dapat dikontrol dalam sumber daya terbatas, akses kecil, maka orang akan saling memangsa untuk mendapat keuntungan sendiri," jelasnya.
Tinduk mengungkapkan hal tersebut bisa diminimalisir namun tidak pada titik nol, dengan memisahkan antar jenis pelanggaran, memberi fasilitas yang relatif sama, dan akses ketersediaan fasilitas yang mencukupi.
“Katakanlah selimut satu tapi dipakai beberapa tahun. Tapi ada juga mereka diberi baju dlm jumlah sama, tapi anak-anak harus dipahami masih dalam proses belajar, malas nyuci mengambil baju temannya, sehingga akan tetap ada kekerasan," ungkapnya.[\]
Foto ilutrasi:
Ketrampilan Anak Lapas Pontianak, Kalbar